Desember 5, 2025

Info BERITA NASIONAL

Investigasi Pengawas Korupsi

Ketika Pengayom Menjadi Pengancam: Kisah Kelam Saya Bersama Polisi Arogan

Sumatera Selatan

Saya, Fidiel Castro, seorang wartawan yang bertugas di Kabupaten Ogan Ilir dan berdomisili di Kelurahan Tanjung Raja, pernah mengalami sendiri tindakan arogan dari seorang polisi bernama Rahmat, yang saat itu menjabat sebagai Kanit Reskrim Polsek Tanjung Raja. Apa yang saya alami bukan sekadar ketidakadilan, melainkan sebuah pengalaman penuh intimidasi yang hampir membuat saya dan keluarga hidup dalam tekanan luar biasa.

Awal Kisah, akhir tahun 2020, pasca pandemi Covid-19, rakyat masih berjuang memulihkan ekonomi. Di tengah kesusahan dan tangis kemiskinan, muncul permainan kotor dari oknum aparat pemerintahan Kelurahan Tanjung Raja. Bantuan sosial Covid-19 senilai Rp1.200.000 per kepala keluarga, yang seharusnya diterima utuh oleh warga miskin, dipotong Rp300.000 per KK oleh pihak RT dengan alasan klasik: “uang rokok.”

Sebagai wartawan, saya tidak bisa tinggal diam. Diam berarti ikut melanggengkan kejahatan. Saya kumpulkan bukti berupa video penyerahan bantuan, keterangan warga, dan dokumen pendukung. Laporan saya ajukan ke pihak kelurahan. Namun jawaban mereka sungguh melukai nurani: “Itu warga ikhlas kok, tidak ada paksaan.”

Saya tahu betul, itu bukan keikhlasan. Itu ketakutan. Ketakutan terhadap kekuasaan kecil yang menindas rakyat lemah. Sejak saat itu, pihak kelurahan mulai menaruh dendam pada saya.

*Niat Baik Dijadikan Dosa*

Beberapa bulan kemudian, seorang tetangga meminta bantuan untuk mengajukan program bedah rumah. Karena iba, saya bantu menyusun berkasnya. Namun, mengingat hubungan saya yang sudah renggang dengan pihak kelurahan, saya minta warga itu mengurus sendiri tanda tangan dan cap di konter. Saya hanya membantu menyerahkan berkas ke instansi pemerintah.

Seminggu kemudian, saat tim survei pemerintah menghubungi kelurahan, mereka mengaku tidak pernah menandatangani berkas tersebut. Tanpa pikir panjang, saya dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pemalsuan dokumen.

*Intimidasi di Kantor Polisi*

Saya memenuhi panggilan di Polsek Tanjung Raja dengan hati tenang. Namun yang saya hadapi bukan penegak hukum, melainkan oknum polisi yang mabuk kekuasaan. Dengan suara keras dan penuh amarah, Rahmat membentak saya di ruang pemeriksaan: “Kau yang ajukan bedah rumah ini? Kau pasti yang palsukan tanda tangan!”

Saya menjawab tenang, “Tidak, Pak. Yang mengurus tanda tangan itu warga sendiri di konter.”

Namun ia tak mau mendengar. Ia menunjuk wajah saya dan berteriak: “Kau saya pastikan masuk penjara!”

Saya mulai curiga ada permainan. Maka saya diam-diam merekam proses pemeriksaan itu. Dugaan saya benar — polisi itu terus mengintimidasi dan mengancam, bahkan menakuti warga yang saya bantu agar memutarbalikkan fakta.

Saat tahu saya merekam, Rahmat langsung merampas HP saya dengan kasar. Ia menarik baju saya, membentak di depan istri saya yang sedang hamil tua. Istri saya menjerit histeris, namun polisi itu terus memaki: “Siapa dekeng-mu? Kau saya tembak dulu sebelum masuk penjara!”

Bayangkan! Di negeri yang katanya berlandaskan hukum, seorang wartawan dan warga sipil bisa diancam tembak hanya karena membantu masyarakat miskin.

*Laporan ke Atasan: Jawaban yang Menyakitkan*

Saya laporkan kejadian itu ke atasannya. Namun jawaban yang saya dapat justru menambah luka: “Mungkin beliau kurang sholat, makanya emosinya tinggi.”

Seolah-olah, kesewenang-wenangan aparat bisa dimaafkan hanya karena ‘kurang ibadah’. Jawaban itu bukan solusi, melainkan bentuk pembiaran. Lucu, sekaligus tragis.

*Titik Balik: Ketika Tuhan Menjawab*

Sebulan kemudian, kabar datang: polisi arogan itu dipindahkan. Kasus saya ditangani oleh penyidik lain yang lebih bijak. Saya akhirnya dipertemukan dengan pihak kelurahan dan berdamai secara baik-baik.

Sang lurah bahkan berkata lirih: “Saya sebenarnya sudah lama ingin berdamai, tapi polisi itu yang bikin masalah makin rumit.”

Kini hubungan saya dengan lurah sudah membaik. Namun luka akibat arogansi aparat itu masih membekas. Setiap kali saya melihat polisi membentak rakyat kecil, saya teringat wajahnya — wajah seorang penegak hukum yang lupa menjadi manusia.

*Tugas Polisi: Pengayom bukan Pengancam*

Rakyat kecil bisa saja salah, tetapi aparat tidak boleh semena-mena. Sebab ketika polisi kehilangan empati dan hanya mengandalkan kekuasaan, maka hukum bukan lagi alat keadilan, melainkan alat ketakutan.

Kisah ini bukan sekadar pengalaman pribadi, melainkan cermin dari masalah yang lebih besar: bagaimana sebagian aparat masih menjadikan jabatan sebagai senjata untuk menekan rakyat. Wartawan, aktivis, bahkan warga biasa bisa menjadi korban jika aparat tidak diawasi dengan ketat.

Hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan ancaman. Polisi seharusnya menjadi pengayom, bukan pengancam. Jika aparat dibiarkan arogan, maka kepercayaan publik terhadap institusi hukum akan runtuh. Dan ketika kepercayaan itu hilang, yang tersisa hanyalah rasa takut.

Saya menulis kisah ini bukan untuk membuka luka lama, melainkan sebagai pengingat. Pengingat bahwa demokrasi dan keadilan hanya bisa hidup jika aparat menjalankan tugas dengan hati nurani. Pengingat bahwa rakyat kecil berhak mendapatkan perlindungan, bukan intimidasi.

Semoga kisah ini menjadi pelajaran, bahwa keberanian melawan ketidakadilan adalah satu-satunya cara menjaga martabat hukum. Sebab hukum tanpa empati hanyalah kekuasaan kosong, dan kekuasaan tanpa batas hanya melahirkan ketakutan. (*)

_Penulis adalah peserta lomba menulis bertema “Pengalaman Buruk dengan Polisi Indonesia”. Lomba ini masih dibuka hingga 15 Desember 2025. Informasi lengkap di sini: https://bit.ly/4opwDVZ_

About The Author

Copyright © 2024 By KPK Media Group | Newsphere by AF themes.